Selasa, 18 Oktober 2011

Pohon Berbunga Bangau

Maya Lestari Gf.
Setiap melihat pohon cangkiang berbunga bangau di pinggiran danau Singkarak itu, aku selalu teringat ayah. Aroma daunnya yang khas, harum danau yang menyusup lembut, mengantarkan kenangan akan dirinya. Dulu ia pernah berdiri di bawah pohon itu berkata, cangkiang-cangkiang itu sekuatnya dirinya. Bertahan meski diterpa musim, digerus aroma payau danau, dan kerontang kemarau.
“Tapi hati ayah tak pernah kerontang,” tuturnya suatu kali, “Selalu basah, seperti tanah di musim hujan.”
Hati ayahku basah oleh kasih sayang. Mengucur ke dalam hatiku. Membawa jiwaku pada jiwanya.
“Suatu saat ingatlah ini, Bujang,” tuturnya sambil memelukku, “Laki-laki haruslah seperti cangkiang. Akarnya mengikat tanah, daunnya sejuk tempat berteduh, dahannya tempat bersandar bangau-bangau. Jadilah seorang lelaki. Jadilah seperti cangkiang.”
Kata-kata ayahku masuk ke dalam hati, tertahan di sana. Melekat di dada seperti lintah. Saat itu aku bertekad pula seperti ayah. Menjadi kuat. Menjadi seperti pohon cangkiang. Pohon berbunga bangau itu.
**
Dan kini aku rindu ayah.
Sudah bertahun ayah tak pulang, bahkan hari raya pun hanya mengirim kabar. Aku ingin bertemu dengannya. Bercerita kembali soal danau yang dikitari sawah-sawah. Harum tanah yang sudah bertahun tak diciumnya, bangau-bangau yang hinggap di pohon cangkiang, membuat pohon itu seperti berbunga. Berbunga bangau.
Betapa banyak yang ingin kuceritakan padanya. Bukan hanya soal tahun-tahun yang hilang di antara kami. Tapi juga soal hatiku, diriku, hidupku.
“Tapi ayahmu tak mungkin pulang,” kata amak, ibu dari ibuku, “Dia sudah pergi jauh. Dia sudah meninggalkan kita semua tepat ketika ia naik ke bus itu.”
“Dia akan kembali. Dia pernah berjanji.”
“Dia tak peduli pada janji, Bujang. Dia tak peduli.”
“Tentu saja dia peduli. Sebab dia ayahku.”
“Lalu kemana ia? Sudah lebih empat tahun ia tak pulang. Mengirim kabar hanya setahun sekali. Tahu apa kita mengenai dirinya di perantauan? Tahu apa kita mengenai kehidupannya? Tahu apa kita mengenai nasibnya? Dan tahu apa kau tentang pikirannya? Dia sudah melupakanmu, melupakan kita.”
“Ayahku tak mungkin melupakanku, dia sudah berjanji.”
“Kau selalu bicara janji. Ayahmu hutang janji beribu kali pada ibumu, tak satupun yang lunas. Berhentilah berharap terlalu banyak padanya, Bujang. Anggap saja dia tak ada. Anggap saja kau tak lagi punya ayah. Seperti kata si Nio, anggap saja kau ini anak yatim berayah.”
“Tidaaak!” aku berlari ke kamar, air mataku berlinangan di pipi. Terasa pedih semua kata amak dalam hati. Aku menangkupkan kepala ke kasur dipan. Terisak-isak.
“Jangan sedih begitu, Bujang,” kudengar suara amak di ambang pintu, suaranya melembut, “amak hanya ingin kau melihat kenyataan dan tidak selalu dibuai mimpi dan khayal. Bersikaplah seperti anak laki-laki umur sembilan tahun. Bermain dengan riang. Tak ada beban di pikiran.”
Aku tak menjawab.
“Amak bukannya tak kasihan dengan kau,” kurasakan tangan Amak membelai kepalaku, “justru karena Amak kasihan dengan kaulah makanya amak marah pada ayahmu. Apakah dia tak sayang kau lagi atau bagaimana sehingga lupa untuk pulang. Jangankan untuk pulang, mengirim uang untuk biaya sekolahmu saja dia tak pernah. Dia hanya mengirim uang saat hari raya. Itu pun cuma cukup untuk beli baju rayamu dua helai. Sudahlah, Bujang. Jangan menangis lagi. Kau belajar saja dengan rajin. Supaya beban di hati ibumu tak bertambah-tambah.”
Aku tetap tak menjawab kata-kata amak.
“Sabarlah, Nak,” kudengar suara amak berubah serak, “orang sabar disayang Tuhan.”
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Bukankah aku sudah bersabar selama empat tahun? Harus berapa lama aku mesti diuji? Tak bolehkah aku bertemu lagi dengan ayahku?
**
Kata orang, ayahku pergi merantau. Ia pergi ke tempat yang jauh. Perlu waktu dua hari menuju ke sana. Konon, perjalanan itu melewati darat dan laut. Sepanjang yang bisa aku ingat, ayahku pergi saat matahari sudah naik dengan menumpang mobil yang akan menuju Solok. Kata ibu, ayahku berangkat dengan bus besar. Bus itu nantinya akan melewati jalan raya yang panjang sekali. Jalan itu membelah kota-kota, kampung dan juga hutan untuk kemudian sampai di pelabuhan dan masuk ke dalam perut kapal. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sebuah bus besar masuk ke sebuah kapal. Pastilah kapal yang ditumpangi itu sangat besar. Lebih besar dari rumah gonjongku.
Selama di perantauan ayahku berpindah-pindah tempat. Mulanya di Jakarta, lalu pindah ke Tangerang, kemudian ke Subang, kembali lagi ke Tangerang. Terakhir kudengar ayahku ada di Yogya. Ia berjualan di sana. Barang-barang jualannya buku, pena, pensil, kacamata, dan lain-lain. Kubayangkan tempat berjualan ayahku pastilah sebuah toko cukup besar seperti toko buku yang pernah kulihat di pasar Solok. Ternyata, kata amak, ayahku hanya pedagang emperan.
“Dia berjualan di trotoar atau di mana saja yang bisa dijadikan tempat. Kadang dia berjualan di depan masjid.”
“Apa itu seperti pedagang kaki lima?”
“Ya, itu dia. Dia menggelar karpet plastik di trotoar lalu meletakkan pena, pensil, buku dan barang dagangan lain di atasnya. Kemudian ia duduk menunggu orang yang akan membeli.”
“Apa jual belinya sama dengan jual beli di toko atau kurang?”
“Tentu saja kurang, Bujang. Mana ada pedagang di emperan bisa jual beli sampai lima juta dalam sehari.”
“Berapa yang didapat ayahku, Mak?”
“Tidak tahu. Tanya ibumu.”
“Dikira-kira saja, Mak.”
“Dikira-kira? Hmm, paling tinggi dua puluh ribu sehari.”
“Dua puluh ribu kan banyak, Mak.”
“Mana cukup uang dua puluh ribu untuk hidup, Bujang? Dengan uang itu ia harus beli makanan. Harus bayar kontrak tempat tinggal. Harus bayar angkos angkot.”
Kini aku baru mengerti mengapa ayah jarang mengirim uang. Dia mungkin cuma bisa makan sekali sehari. Diam-diam air mataku rasanya ingin menitik.
“Kalau begitu mengapa ayah tak pulang saja, Mak?” tanyaku serak, “Bukankah lebih baik ayah di sini menggarap sawah kita yang setumpak?”
Amak terdiam sejenak, sebelum akhirnya menghela napas.
“Jangan tanyakan Amak, Bujang. Tanya saja pada ayahmu.”
“Tapi kenapa, Mak? Tak bisakah Amak menjawabnya?”
Tak ada kata-kata dari Amak. Ketika kupandang dua matanya, ia melengos dan menyuruhku mandi.
“Tapi, Mak….”
“Jangan buat Amak marah lagi, Bujang! Kerjakan saja perintah Amak.”
“Mak…..”
Amak tak bergeming. Kupandang saja wajahnya mencari jawab, tak ada apa-apa di sana selain kesedihan.
“Bukan kita yang kejam pada ayahmu,” Amak membalikkan badan, terisak, “dia yang kejam pada kita. Kita tak meminta apapun darinya. Tak meminta ia pulang membawa mobil, uang banyak atau emas setinggi gunung. Ayahmu terlalu keras kepala.”
“Apa maksud, Amak?” kupegang ujung baju Amak, “mobil? Uang banyak? Emas?” aku tak mengerti.”
“Kau tanyalah pada Suna, Siti atau si Mariam yang selalu berceloteh kian kemari tentang orang-orang perantauan!” tiba-tiba Amak membentak, “dengarkan bagaimana mereka bercerita tentang uang si Saidi yang berlimpah atau si Rustam yang pulang dengan mobil mewah. Lalu lihat ayahmu! Apa mungkin uang dua puluh ribu bisa membeli mobil mewah, Bujang? Bisa membangun masjid, atau berkurban seekor jawi saat hari kurban?”
“Aku tak mengerti.”
“Aku juga tak mengerti mengapa ayahmu lebih mendengarkan sindiran orang-orang kampung daripada kita! Dia malu pulang ke kampung tanpa membawa uang. Dia malu pulang tanpa berkendara mobil! Dia malu pulang dari rantau hanya untuk menggarap sawah! Seolah-olah menggarap sawah adalah pekerjaan hina!!”
“Mak…”
“Sudahlah! Jangan dikenangkan lagi ayahmu! Anggap saja dia tiada!”
Kulepaskan ujung baju Amak. Airmata berlinang-linang di pipi.
**
Sekali lagi aku ke sawah kami. Menapaki pematang sempit, mencapai gubuk di pinggiran sawah kami, lalu tegak menantang matahari yang beranjak turun ke balik gunung. Air Danau Singkarak beriak. Di atas riak itu, titik-titik cahaya matahari berpantulan, menari-nari bersama air yang dihela angin sampai ke tepi. Cangkiang-cangkiang tampak kukuh, tegak gagah sepanjang tepian danau, seolah penjaga perigi tempat putri khayangan mandi. Lalu muncullah sesuatu yang dinanti-nanti hatiku. Bangau-bangau putih yang terbang rendah, untuk kemudian hinggap di dahan-dahan cangkiang. Pohon itu seketika berbunga bangau. Berbunga putih. Seolah-olah pohon dan bangau-bangau itu merupakan satu kesatuan yang muncul dari dalam bumi. Di atas bulu-bulu putih bangau yang bertengger di puncak cangkiang memantul sinar emas matahari. Pemandangan itu, gunung, air danau berwarna biru dan hijau yang memantulkan cahaya dan pohon berbunga bangau di pinggiran danau memberi kesan teramat dalam di hatiku. Di bawah pohon berbunga bangau itulah dulu ayahku membuat janji dalam hatiku untuk menjadi seorang laki-laki yang terus tegak dan kukuh menghadapi apa saja.
“Sebab seorang laki-laki adalah tempat berteduh dan tempat bersandar, layaknya cangkiang yang memberi sandaran pada bangau-bangau. Jadilah lelaki, Bujang. Jadilah anak lelaki ayah.”
Tetapi apakah ayahku sudah menempa dirinya menjadi seperti pohon berbunga bangau itu? Aku tak tahu. Apakah ia sudah menepati janjinya untuk menjadi seorang laki-laki yang kuat? Aku mulai meragukannya. Sebab mungkin ia tercekat rasa malu sehingga enggan untuk pulang ke kampung. Mungkin ia malu kembali menggarap sawah setelah bertahun-tahun di perantauan. Mungkin ia berpikir bahwa dengan tangan mengenggam emas dan uang, ia bisa menjadi seorang laki-laki dan dengannya aku bisa bahagia. Tidak, bahkan bangau-bangau itu tahu mereka harus pulang bila waktunya tiba. Apakah belum tiba waktu bagi ayah untuk berkumpul lagi bersamaku? Untuk kembali menggendongku di pundaknya? Untuk kembali bersamaku menikmati lautan cahaya matahari senja di Danau Singkarak? Untuk berdiri bersamaku di bawah pohon berbunga bangau itu?
Kuhela napas. Ada rasa pedih di hati yang harus kutanggungkan. Kulangkahkan kaki, mendekati pohon berbunga bangau itu. Kupejamkan mata. Aku hanya berharap ayahku bisa mengalahkan dirinya untuk berkumpul bersama kami lagi. Menaklukkan keangkuhan hatinya, dan dengan rendah hati mengakui bahwa ia telah kalah di perantauan sana. Bukankah perantauan adalah rimba tak bertuan, di mana keberuntungan adalah milik siapapun yang pandai membuka lahan? Segala yang dimiliki ayahku cuma keinginan untuk membahagiakan kami. Sekarang, bukankah telah diketahui, sekadar keinginan tidaklah cukup?
Kubuka mata, setitik demi setitik air jatuh di pipi. Jauh kulemparkan pandangan hingga ke tengah danau. Sungguh, bila ujung danau ini menyampaikanku pada ayahku, pasti akan kulayari. Akan kusampaikan padanya kisah pohon berbunga bangau, agar direnungkannya lagi tentang arti menjadi seorang laki-laki. Kutarik napas. Pandanganku masih jatuh di riak danau.
Padang, 12 Desember 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar